Entri Populer

Minggu, 24 April 2011

Hakikat Ibadah Oleh: Masyruddin Nusi



السلم عليكم ورحمة الله وبر كاته  
الحمد الله رب العلمين والصلاة والسلام على اشرف الانبياء والمرسلين وعلى اله واصحا به اجمعين اما بعد:
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah....
Dalam perjalanan hidup manusia dipermukaan bumi, bukanlah tanpa misi, bukan tanpa tujuan. Allah Swt, memerintahka kepada kita untuk beribadah kepada-Nya, dalam artian melakukan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dan jikalau kita melihat secara objektif dari kehidupan manusia, kenyataan dalam hidup sehari-hari bahwa kesadaran manusia untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt, itu berbeda-beda. Bila diprosentasekan  jumlah yang melaksanakan ibadah secara sungguh-sungguh jauh lebih sedikit bila dibandingkan yang tidak melaksanakan ibadah kepada Allah Swt, atau secara umum, diantara manusia  banyak yang belum sadar dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Mengapa?..
Mengapa masih banyak diantara kita yang belum melaksanakan shalat sebagai seorang muslim, membelanjakan harta, membaca alquran, berpuasa atau melakukan kebajikan-kebajikan lainnya.
Jawabnya, mungkin kita belum memiliki kadar keimanan yang tinggi, kadar keimanan yang baik. Sebab kesadaran melaksanakan perintah agama itu pada hakikatnya dimotivasi oleh kadar keimanan yang baik. Kalau seseorang sudah merasakan manisnya iman apa saja yang dilaksanakan akan terasa mudah dan ringan.
Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda dari Anas ra, menyatakan:
ثلاث من كن فيه وجد بهن حلاوة الايمان: ان يكون الله ورسوله احب اليه مما سواهما-وان يحب المرء لا يحبه الا الله-وان يكره ان يعود في الكفر بعد انقذ ه الله منه كما ايكره ان يقذف فى النار
“Ada tiga perkara yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman: Mencintai Allah Swt dan rasulnya melebihi dari pada segalanya, mencintai sesama manusia karena Allah Swt semata, enggan untuk kembali kepada kekafiran sesudah diselamatkan Allah Swt sebagaimana ia enggan untuk dilemparkan ke dalam api neraka. (Muttafaqun alaih).
Sehingga ibadah-ibadah yang kita lakukan bukan semata-mata dianggap sebagai kewajiban akan tetapi harus dijadikan sebagai kebutuhan dan dijadikan sebagai wadah untuk pembentukan kepribadian dan bukan hanya sebagai kewajiban ruyinita formal.
Demikan pula dengan sedekah dan ibadah-ibadah lainnya kita lakukan karena kita mengetahui melalui melalui petunjuk agama bahwa harta itu untuk membersihkan jiwa kita bahkan dalam sebuah keterangan yang lain bahwa “sedekah yang kita keluarkan itu lebih cepat sampai pahalanya kepada Allah Swt sebelum sampai ketangan orang yang menerimanya”.
Selanjutnya, mengapa banyak manusia yang tidak termotivasi untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt? Hal ini karena manusia ini tinggal dialam dunia (alam syahada) yang penuh dengan “materi” sehingga segala yang mendorong ia untuk melakukan sesuatu apabila ia mendapat imbalan materi dan alasan lain kaena manusia cenderung untuk memperturutkan hawa nafsunya. Sebagaimana hadis menyatakan:
“ketika Allah Swt menciptakan syurga lalu dipanggillah Jibril untuk menyaksikannya, lalu Jibril berkata: Ya...Allah, tidak ada seseorangpun yang mengetahui tentang syurga kecuali ia akan berupaya untuk memasuki syurga itu. Kemudian Allah memerintahkan lihatlah neraka yang Kuciptakan, maka datanglah Jibril melihat neraka, lalu Jibril berkata: Ya..Allah tidak seorangpun yang mengetahui tentang neraka kecuali ia akan berupaya untuk menghindarkan diri dari neraka. Kemudian Allah mengelilingi syurga dengan perkara-perkara, perbuatan-perbuatan, amalan-amalan yang tidak disenangi oleh syahwat amnusia seperti shalat,puasa dll. Kemudian dipanggil kembali Jibril untuk menyaksikan syurga, Jibril berkata:Ya..Allah saya khawatir jangan sampai orang-orang tidak mau memasuki syurga itu. Sebaliknya Allah mengelilingi neraka dengan hal-hal yang disenangi oleh syahwat manusia, lalu setelah dilihat Malaikat jibril berkata: Ya...Allah saya khawatir jangan sampai orang-orang berlomba-lomba menenggelamkan diri ke dalam neraka”.


والسلم عليكم ورحمة الله وبر كاته

Mensyukuri Nikmat Allah Swt.

MENSYUKURI NIKMAT ALLAH SWT.
Oleh: Masyruddin Nusi

السلم عليكم ورحمة الله وبر كاته
 الحَمْدُ اِللهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى اَشْرَفِ الْاَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَا بِهِ اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْدُ: 

Dalam Alqur’an Allah Swt, berfirman:
فَاذْكُرُنِيْ أ ذْكُرْكُمْ وَاثْكُرُوْلِىْ وَلَاتَكْفُرُوْنِ

" Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku". (Al-Baqarah:152).
Kata “Syukur” secara harfiah berarti “terimah kasih”. Secara umum berarti, mengelolah, memanfaatkan karunia Allah Swt kepada jalan yang dicintai Allah Swt. Bersyukur kepada Allah tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Al-Hamdulillah, tetapi syukur mengandung suatu makna yang sangat mendalam yang diakui dalam hati dan teraplikasi dalam amal perbuatan sehari-hari.
Perwujudan rasa syukur ini bisa bermacam-macam, ada yang bersyukur diwujudkan dalam bentuk menafkahkan, menginfaqkan sebagian hartanya untuk kepentingan umat. Ada yang bersyukur dengan melakukan sujud syukur, ada yang berpuasa dll.
Dalam konsep agama, dikatakan orang miskin yang ditimpah musibah lalu dia bersabar maka ia mendapat pahala, dan orang kaya yang mendapat nikmat lalu dia bersyukur maka iapun mendapat pahala. Dalam pendekatan sufistik “apapun yang menimpah kita musibah atau nikmat maka kita harus bersyukur”. Misal: saya memiliki sepeda motor, saya bersyukur. Karena kawan saya hanya memiliki sepeda, yang punya sepeda bersyukur karena kawannya yang lain hanya dapat berjalan kaki. Yang berjalan kaki bersyukur karena kawannya yang lain berjalan dengan menggunakan tongkat. Yang menggunakan tongkat bersyukur karena kawan yang lain tidak dapat berjalan....demikian seterusnya.
Untuk melatih diri agar selalu bersyukur kepada Allah Swt, Rasulullah Saw memperingatkan agar dalam urusan dunia kita selalu mengarahkan pandangan kepada yang lebih rendah atau miskin dari kita. Rasul bersabda:
اُ نْظُرُوْ ٳِ لَىْ مَنْ اَ سْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوْا ٳِ لَى مَنْ هُوَ فَوْ قَكُمْ فَهُوَ اَ جْدَرُ اَ نْ لَاتَذْ دَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
Lihatlah engkau kepada orang yang lebih rendah/miskin dari padamu dan jangan kamu melihat orang yang lebih tinggi/kaya dari padamu karena yang demikian akan lebih tepat bagimu agar engkau tidak meremehkan/ memandang enteng terhadap nikmat Allah Swt yang diberikan kepadamu  (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam Qs. An- Nahal 18:
وَ إِ نْ تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah Swt, niscaya kamu tidak dapat menghitung jumlahnya”. Dalam hadis yang lain dinyatakan:
ٳِ ذَانَظَرَ اَحَدُكُمْ ٳِ لَىْ مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِى الْمَالِ وَالْخَلْوَ فَلْيَنْظُرُ ٳِ لَى هُوَ اَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عِلَيْهِ
Apabila kamu dikaruniai kelebihan dengan harta dan kecantikan maka menengok pulalah kepada orang yang serba kekurangan (HR. Muslim).
Oleh karena itu, kita senantiasa berharaf melalui doa agar apa yang kita miliki dapat menghantarkan kita lebih dekat kepada Allah Swt. Karena Allah Swt mengingatkan dalam Qs. Al-Munafiqun;9:
ﻴﺄ يها الذين امنوا لاتلهكم امولكم ولااولدكم ان سكر الله
Dan janganlah karena harta bendamu dan anak-anakmu memalingkan kamu untuk ingat dan mengabdi kepada Allah Swt’
 Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang kita lakukan hakikatnya  kembali kepada diri kita sendiri:
ومن يثكر ﻓﺈنما يثكر لنفسه
“Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah Swt, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri” Qs. Lukman:12


والسلم عليكم ورحمة الله وبر كاته