Entri Populer

Selasa, 03 Mei 2011

Nasehat DR. Daud Rasyid

Prolog : Ada satu tulisan yang cukup menarik sehingga mendorong saya untuk memuatnya di Blog ini. Sebuah nasihat yang diberikan oleh Dr. Daud Rasyid, salah seorang aktifis pergerakan, tentang aktifitas para tokoh dakwah yang terlibat di panggung politik. Khususnya mereka yang aktif di PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Secara umum, inti nasihat ini adalah nasihat ataupun kritikan yang sering dikatakan oleh ikhwah salafiyyun. Harapan saya, barangkali jika yang menasihati adalah tokoh dakwah mereka, mereka mau introspeksi dan kembali dari kesalahan mereka dalam ghulluw berpolitik. Semoga Allah memberikan petunjuk bagi kita semua.
******
Dakwah di jalan Allah (ad-da'wat ilallah) adalah pekerjaan mulia yang dijanjikan dengan pahala yang besar. Dalam hadits Shahih disebutkan, bahwa menunjuki ke jalan yang baik sama seperti melakukan perbuatan baik itu sendiri (muttafaq alaih). Begitu juga dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam, menyatakan, jika anda mampu menjadi sebab bagi seseorang mendapat petunjuk Allah ta'ala, itu lebih baik dari 'unta merah' (sebuah symbol kemewahan pada masa dahulu). Dari dua hadits ini, kita bisa memahami bahwa profesi dakwah adalah profesi terhormat di mata Allah ta'ala.
Dakwah di era kontemporer ini bertujuan untuk mengembalikan kehidupan kaum Muslimin ke garis yang benar, demi mengarahkan mereka kepada ibadatullah dalam segala aspeknya. Para du'at itu mendakwahi ekonom dan bisnismen, tanpa harus mereka berprofesi sebagai pebisnis. Mereka mendakwahi politisi dan negarawan, tanpa harus mereka beralih profesi dari da'I menjadi politisi. Mereka mendakwahi artis, tanpa harus menjadi artis. Mendakwahi preman, tanpa harus jadi preman. Untuk merubah sesuatu, khususnya sebuah dunia gelap, tidak mengahruskan kita menceburkan diri dalam dunia itu. Dari contoh-contoh dakwah pendahulu pun, tidak melakukan hal itu. Karena untuk menjadi pebisnis, begitu juga politisi, tidak semudah yang dikhayalkan oleh banyak orang.
Asumsi bahwa jika kita masuk ke sebuah dunia, kita bisa merubah dunia itu, atau merubah banyak di dunia itu, ini lebih kepada teori indah, tapi ketika dikerjakan, amatlah sungguh berat. Karena dunia bisnis dan politik itu, sarat dengan kebohongan, ketidak jujuran, khianat, halal menjadi haram, halal menjadi haram. Sehingga yang terjadi ialah perubahan akhlak dan identitas keislaman da'i-dai' yang masuk ke dalamnya. Sikap wara' menjadi rapuh. Kebohongan menjadi biasa. Syubhat menjadi keharusan. Yang sebelumnya takut pada yang syubhat, belakangan terkesan menjadi berani pada yang syubhat bahkan mungkin juga pada yang haram. Kewara'an dan zuhud yang menjadi muwashofat seorang da'I, nyaris menjadi tak popular.  Penilaian juga ikut berubah. Hal-hal (baca : uang) yang sebelumnya dianggap haram, harus dihindari, dan merusak kewara'an, belakangan sudah dianggap biasa, atau tuntutan berbisnis atau berpolitik. Untuk menjustifikasi tindakan-tindakan itu, digunakanlah kaidah-kaidah fiqh secara berani dan tidak proporsional. Seolah-olah yang menetapkan hukum dan fatwa, orang-orang sekaliber Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'i. Kalau Imam Malik dulu, lebih banyak menjawab "tidak tahu" dari 40 masalah yang diajukan kepadanya, padahal dia seorang Imam Mujtahid, sementara di zaman sekarang banyak peneliti agama, menjawab dengan berani masalah apa saja yang diajukan kepada mereka, dengan dalih ijtihad, maslahat.
Para imam itu dahulu, enggan menjawab masalah padahal dia mengetahuinya, karena mengingat riwayat yang popular di kalangan fuqoha' : "Ajro'ukum ala al-Futya ajro'ukum ala an-Nar". (orang yang paling berani di antara kalian berfatwa, adalah orang yang paling berani masuk neraka.)
Memang masih ada orang yang mampu bertahan dengan idealismenya di dunia rawan seperti itu, tapi jumlah mereka hanya berapa? Tapi yang umum adalah terbawa oleh arus utama dalam dunia yang baru dihadapinya. Di dalam Shohih Muslim, terekam nasehat Nabi Saw kepada Abu Zar. Beliau mengatakan, Hai Abu Zar. Aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Kulihat engkau sosok yang lemah,janganlah memimpin dua orang (apalagi orang banyak), dan janganlah mengurusi harta anak yatim.
Inilah pesan Nabi kepada salah seorang Sahabat dekatnya. Apa yang bisa kita pahami dari kisah ini? Bahwa dunia tertentu seperti kepemimpinan publik menuntut qualifikasi tertentu. Artinya, tak setiap orang soleh bisa terjun ke dunia politik. Rasul sama sekali tak meragukan kesolehan dan ketakwaan Abu Zarr, beliau adalah seorang sohaby yang mulia. Tetapi kepemimpinan publik adalah dunia yang tak cukup mengandalkan hanya kesolehan pribadi. Batu-batu licin dan batu terjal nan tajam yang membahayakan berhamparan di sana. Padahal di jaman itu yang hidup adalah para sahabat, generasi terbaik dengan segala keistimewaannya. Namun Rasul tidak merekomendasi Abu Zar untuk terjun ke dunia publik, karena faktor-faktor pribadi yang beliau lihat pada Abu Zar.
Yang terjadi dari zaman ke zaman dalam uji coba terjun ke dunia politik oleh para aktifis dakwah, mirip dengan gambaran Abu Zar itu. Semangat awal memang cukup menakjubkan, yaitu ingin merubah dunia hitam menjadi dunia cemerlang. Uji coba seperti itu bukan baru pertama kali dilakukan. Generasi-generasi sebelumnya di negeri ini juga sudah melakukan itu. Tetapi hasilnya serupa. Tak berubah. Orang yang masuk kesana, bukan merubah, tapi ikut berubah. Bukan mewarnai, tetapi terwarnai. Bagaimana jika yang terwarnai ini adalah sebuah rombongan besar yang bercita-cita menegakkan mega proyek Islam?Bukankah siasat itu menjadi praktik 'bunuh diri' dan set back atau mundur dalam memahami materi-materi dakwah? Orang lain pun akan mengatakan, kenapa anda tidak belajar dari pengalaman saudara-saudara anda sebelumnya? Apakah anda terlalu percaya diri atau anda telah jatuh dalam isti'jal (terburu-buru mencapai tujuan)?
Persoalan yang dihadapi bukan satu-satu soal uang, risywah dan sejenisnya, walaupun ini telah banyak merubah orientasi aktifis Islam dari idealism eke fragmatisme. Tapi ada hal-hal yang sudah masuk wilayah 'Aqidah. Seorang Mukmin yang aqidahnya sudah tershibghoh tawhid, bagaimana dapat bekerjasama dengan kaum yang menghalalkan segala cara, bahkan menghalalkan kekufuran dan kefasikan? Bukankah Allah Subhanah Wata'ala mengingatkan NabiNya dengan peringatan yang keras, tak ada peringatan sekeras itu dalam firman-Nya: "Dan jika Kami tidak menetapkan hatimu, hampir-hampir saja engkau condong sedikit kepada mereka. Jika itu terjadi, pasti Kami rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia dan begitu pula siksaan berlipat ganda setelah mati, dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolongpun  terhadap Kami." (Al-Isro' 74-75).
Jika yang berjuang itu Nabi Allah, yang menetapkan hatinya adalah Allah Swt, dan wahyu turun menegurnya, bila terjadi pembelokan dalam gerak dakwahnya. Tapi jika yang berjuang itu manusia biasa, wahyu apakah yang turun mengingatkannya? Yang mengingatkan hanyalah manusia yang masih ingin memelihara orisinalitas dakwahnya. Tapi musibah besar jika yang memberi nasehat dianggap sebagai penghalang jalan dakwah. Padahal andaikan tidak ada si 'penghalang' itu, mereka bisa terjerumus seluruhnya kepada kebinasaan.
Peringatan keras Robbany seperti di atas seharusnya juga dipahami sebagai peringatan untuk para da'i yang berjuang menegakkan dienullah. Mereka harus benar-benar konsisten di jalan dakwah dan tidak tergiur oleh rayuan-rayuan manusia dan bisikan-bisikan syaitan untuk merubah arah, pemahaman dan metodologi dakwah mereka.
Adalah peringatan Nabi kepada Para Sahabatnya dilaporkan oleh Abu Sa'id al-Khudry yang menceritakan: "Ketika kami duduk di sekitar mimbar Rasul, Beliau bersabda, sesungguhnya yang paling kutakuti menimpa kalian, adalah jika dunia terbuka lebar di depan kalian, kesenangan nya terhampar di hadapan kalian." (muttafaq alaihi).
Jadi cobaan yang dikhawatirkan bukan cobaan yang datang dari luar, tetapi cobaan dari dalam diri sendiri, menganggap diri sudah besar, sudah berpengaruh, dapat simpati besar, dunia pun terbentang di hadapan. Inilah awal ketergelinciran. So. Siapakah yang mau merenung, Fahal min muddakir?
Dalam kesempatan lain Dr. Daud Rasyid berkata :

Ba’da tahmid wa sholawat
Ayyuhal muslimuun, ikhwah fillah yang dirahmati Allah, syukur alhamdulillah yang tidak henti-hentinya kita panjatkan kehadirat Allah SWT -subhanahu wa ta’ala- yang masih meneguhkan semangat kita walaupun dari sana sini SMS ataupun panggilan ataupun lobi-lobi untuk orang-orang tertentu agar tidak ikut dan tidak berhubungan dengan forum kader peduli, tetapi ternyata alhamdulillah ana lihat mesjid ini, dari sejak pertemuan yang lalu bahkan makin penuh. Ada apa ini, antum ini semua? Makin ditakut-takuti makin penuh, makin banyak yang hadir. Sebenarnya ini menunjukkan sebuah kerinduan kepada asshoolatudda’wah (orisinalitas dakwah).
Kita ingin kembali kepada materi-materi yang dulu kita pelajari sejak awal. Al walaa-u lillaah, al baroo’ ‘an kulli ath-Thowaghit. Berpihak kepada Allah. Innama waliyyukumullaahu warrasuuluhu walladziina aamanu, sesungguhnya wali kamu itu adalah Allah, rasulNya dan orang-orang beriman.
Sekarang sudah menjadikan pahlawan orang-orang yang tak jelas arah hidupnya. Dijadikan sebagai tokoh, sebagai wali. Diangkat nama-nama orang yang dalam sejarah telah tercatat permusuhan mereka itu kepada Islam.
Kenapa dulu syari’at Islam terganjal pada tahun 45? Dalam Piagam Jakarta, kita semua tahu sejarah. Padahal pada waktu diproklamasikannya itu kemerdekaan, dasar-dasar daripada negara ini, itu didasarkan kepada Undang-undang Dasar 45 yang mengacu kepada Piagam Jakarta. Yang intinya, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Tanggal 18, sehari, berubahlah itu, dicoretlah itu. Oleh siapa? Kelompok nasionalis yang kita tahu siapa. Mereka inilah yang ditokohkan sebagai pahlawan sekarang dan dalam iklan-iklan di televisi itu.
Jadi kita ini berubah 180 derajat, dari sebuah jama’ah (kelompok) umat Islam yang ingin mengerahkan wala’ nya kepada Allah menjadi berwala’ kepada syaithon dan thowaaghiit. Na’udzubillaahi min dzalik. Kita tidak mau. Saya yakin inilah yang mendasari kehadiran antum.
Sebenarnya ikhwah fillah, ana mencium perubahan ini sudah sejak awal, pada waktu adanya mukernas di Depok, di mana diundang berorasi bekas musuh kita — yang sudah meninggal — tokoh sekuler di Indonesia. Antum masih ingat? Disuruh, diminta, dihormati, diagungkan untuk berorasi. Saya tidak perlu sebut nama, karena antum semua sudah tahu, betul ndak?
Pada waktu itu hari Jum’at. Ana gak habis pikir, pusing kepala. Apa dasarnya ini orang diundang? Yang dulu kita ludahi, yang dulu kita hujat sebagai tokoh sekuler, tiba-tiba disambut, dihormati, diagungkan seperti guru. Laa hawla wala quwwata illa billaah. Pada saat itu betul-betul ana, secara pribadi, hati ini tersayat-sayat. Seperti meludah, dijilat kembali ludahnya.
Oleh karena itu, pada saat itu, ana ingat kembali ini ceritanya. Begitu dia naik, ana langsung keluar. Ditahanlah ana oleh tiga orang. “Ustadz, ustadz, tunggu dulu, sebentar saja ustadz!”
“Oh tidak ada. Tidak pantas bagiku untuk menghormati, menghadapi muka orang yang dulu memusuhi Islam. “
Waktu itu dia diagungkan, dijadikan rujukan sebagai bapak intelektual Indonesia. Dan seperti orang yang mengilhami gerakannya yang disebut dengan partai da’wah.
Dari situ saja, waktu itu, saya sudah mulai membayangkan, ini bagaimanapun ke depannya akan menjadi kelompok sekuler. Sudah mulai hilang rambu-rambu yang dipelajari, al walaa-u lillaah. Maka hari demi hari makin menunjukkan. Betul kata salah seorang ikhwah kita di dalam forum SMS itu, hari-hari ini belakangan terus akan memberitahukan kepada engkau, apa yang dulunya engkau tak tahu. Apa yang dulunya masih tertutup rahasia, hari ke depan akan makin lama makin tersingkap rahasia tabir-tabir yang dulu tersembunyi.
Kita mengira bahwa kita itu berjalan di atas sebuah thariiqudda’wah yang shahihah, thariiqul anbiya wal mursaliin, ‘ibadatullaahi wahdah, al kufru liththaghuut. Tetapi ternyata belakangan kitapun diajak berdamai, cair, lemah lembut. Menunjukkan wajah yang senyum kepada orang-orang mujrimin yang menghancurkan negara ini, yang menjual negara ini. Kitapun disuruh untuk berbaik-baik kepada mereka. Bagaimana mungkin seorang kader da’wah bisa menerima seperti itu?
Oleh karenanya ikhwah fillaah rahimakumullaah, mari kita tetap berpegang. Perbanyak antum tilawatil Qur’an, insyaAllah orang-orang yang terus senantiasa berpegang kepada kitabullah, ini tidak akan mau tergelincir. “Laa tajtami’u ummati ‘ala dhalaalah”, kata nabi kita SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam- . “Tidak akan mungkin ummatku bersatu dalam sebuah kesesatan.”
Jadi mudah-mudahan kita ini penyelamat agar saudara-saudara kita yang lain tidak sampai sesat. Kita ini sebagai pengontrol mereka. Sekali lagi kita ingin tegaskan, kita ini bukan mau merebut sebuah qiyadah. Apa yang mau direbut? Kita ndak punya kemampuan apa-apa. Kita ini bukan mau mengganjal, kita ini bukan mau menggagalkan, tidak. Tetapi jalan da’wah yang sudah dari awal dibangun secara benar, ini jangan sampai miring, seperti orang yang mabuk, tidak lihat jelas jalannya yang mana yang harus ditempuh, ke kiri atau ke kanan. Kita tidak mau seperti itu, karena semuanya kita ini punya patokan, punya dasar kitabullah, sunnah rasulillah. Tidak akan lahir mujtahid-mujtahid baru yang akan mempunyai ta’wil-ta’wil untuk menjustifikasi kebijakan-kenijakan yang nyeleneh dan kontroversial. Tidak bisa itu, dan itu tidak akan kita biarkan. Dan kalau kita tetap dituduh sebagai orang-orang yang ingin menggembosi, yang ingin menciptakan jama’ah baru, biarlah mereka nanti tahu bahwa kita tidak punya keinginan untuk membuat apa-apa yang baru. Kita hanya ingin meluruskan jalan yang sudah ada.
Oleh karenanya mereka seharusnya membuka hati dan harusnya mereka itu berterimakasih ada yang mengingatkan. Kan begitu seharusnya? Mereka harusnya ruju’ kepada yang benar. Berterimakasih, bukan justru menteror, beberapa saudara kita diteror lewat SMS, dan seterusnya dan seterusnya. Maka oleh karena itu, kita tidak akan berhenti dalam menegakkan amal amru bil ma’ruf wan nahi ‘anil munkar, kapanpun dan di manapun.
Dan kita yakin, insyaAllah, dengan do’a-do’a kita, kita berdo’a agar ikhwah kita akan kembali seluruhnya ke jalan yang benar. Dan kita tidak perlu berdo’a agar mereka celaka, tidak. Mereka itu sedang menghadapi sebuah cobaan yang disebut dengan dunia. Supaya mereka sadar akan cobaan itu, dan tidak larut tergelincir, akhirnya mereka pun terpental dari jalan da’wah. Nanti, akhirnya yang disebut oleh Said Hawwa, al mutasaqithuuna fii thariiqidda’wah, jangan dibalik, jangan dibilang kita ini orang-orang yang berguguran di jalan da’wah. Sekarang ada pemutarbalikan istilah, orang lurus dibilang bengkok, yang bengkok dibilang lurus. Ini berarti kacamata sudah tidak benar. Kalau kacamata sudah tidak benar, itu memang betul. Hitam kelihatan putih, putih kelihatan hitam.
Jadi oleh karenanya, sekali lagi, mari kita tamassuk bi kitabillaah. Apa yang dulu biasa kita lakukan, tilawatil Qur’an adalah merupakan tugas seorang akh untuk berusaha mengkhatamkan Qur’an itu minimal satu bulan sekali. Ini adalah tugas-tugas kita sebagai akh di dalam jama’ah ini. Begitu juga ikhwah, kita menghidupkan sunnah, jangan kita anggap kecil, sepele sunnah-sunnah. Sunnah-sunnah nabi itu semuanya mulia. Rasulullah sudah berpesan kepada kita, jangan kamu anggap sepele. “Taroktu fiikum Amroini, Maa intamassaktum bihima Lan tadhillu ba’di abada”. Biar orang lain menyepelekan sunnah, menganggap bahwa dirinya sudah berubah, kita sudah maju, kita sudah meninggalkan masa lalu.
Oh tidak, kita tetap katakan, kita ini tetap dulu seperti yang dulu juga. Kapanpun dan di manapun kita hidup, tetap saja manhaj yang kita pakai manhaj yang lama. Manhajudda’wah anbiya wal mursaliin yang mengajak orang kepada ‘ibadatullaah, al waahidil qahhaar. Ikhwah fillah rahimakumullah, kalaupun awalnya kita mau berpartai tujuannya adalah untuk mengajak orang menyembah Allah, bukan mau mencari kekuasaan. Tak ada gunanya mencari kekuasaan. Apa gunanya kekuasaan kalau akhirnya membuat kita celaka. Karena Allah pun mengatakannya dalam al Qur’an
Wa ‘adallaahulladzina amanu minkum wa ‘amilushshaalihaati, layastakhlifannahum fil ardhi, kamastakhlafalladzina min qablihim, wa layumakkinanna lahum diinahumulladzirtadha lahum, wa layubaddi lannahum min ba’di khawfi him amna ; ya’buduunani la yusyrikuuna bi syai-an
Allah menjanjikan kepada orang beriman dan beramal sholeh. Antum ndak usah ribut, pusing kepala cari kekuasan. Itu sudah janji Allah, akan dikasihnya. Ndak usah sampai kamu mengorbankan idealisme menjual tokoh-tokoh orang. Akhirnya sekarang yang punya tokoh pada marah semua. Malu tidak itu? Malu sekali. NU nya marah, Muhammadiyahnya marah, orang nasionalisnya marah. Sudah tidak ada harga diri lagi. Tokoh orang disanjung-sanjung seolah-olah tidak punya tokoh kamu itu.
Padahal kita itu, qudwatuna Rasulullah SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kita tidak perlu kepada tokoh-tokoh. Semua tokoh itu ada cacatnya, betul tidak? Yang bersih dari cacat Rasulullah SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kenapa kamu sibuk menokohkan orang? Semua mereka itu punya cacat, yang cacatnya itu tidak tanggung-tanggung.
Oleh karenanya, kita kembali kepada manhaj, Allaahu ghayatuna, warrasul qaa’iduna. Rasulullah itu pemimpin kita yang insyaAllah tidak akan ada sesuatu yang negatif pada diri Rasulullah SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kenapa kita sibuk mencari tokoh di luar tokoh yang sudah diajarkan kepada kita?
Kembali kepada ayat yang tadi, Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal sholeh, akan diberinya kekuasaan. Nah ini dia… Jadi kamu tidak usah pusing, sibuk, menjilat ke sana ke mari mencari perhatian orang. Ada pepatah Arab, “Kullun yadda’i hubban bi Laila, wa Laila la tuqirru bi wahid”, Semua laki-laki mengatakan Laila cinta pada saya, tetapi Laila tidak pernah mengakui satu orangpun diantara mereka. Malu sekali.
Jadi Allah akan memberikan yang namanya kekuasaan itu, layastakhlifannahum, istikhlaaf, sebagaimana yang diberikannya kepada ummat sebelum kamu, wa layumakkinanna lahum diinahumulladzirtadha lahum, akan memberikan tamkiin, akan memantapkan posisi diin ini di muka bumi, kemudian wa la yubadilannahum min ba’di khawfi him amna, akan diganti Allah rasa takut menjadi rasa aman, tapi syaratnya apa? ya’buduunani la yusyrikuuna bi syai-an.
Sekarang kita itu sudah mulai menyerempet-nyerempet ke syirik, betul tidak? Mengakui nasionalisme yang dibuat oleh orang-orang nasionalis yang tidak mengenal Allah, yang tidak bertauhid kepada Allah Ta’ala. Jadi kita sudah mulai nyerempet ke situ. Yang tadinya faham tentang tauhid, yang tadinya memusuhi syirik tapi sekarang sudah berubah. Bagaimana kita mau mendapatkan kekuasaan dari Allah Ta’ala? Yakin ana gak bakalan. Tidak bakal dikasih Allaah Ta’ala itu. Karena sudah dikatakan demikian, “ya’buduunani la yusyrikuna bi syai-an”. Mereka menyembah Aku dan tidak mensekutukan Aku dengan segala sesuatu apapun.
Oleh karena itu, apapun namanya kita ini, mau jam’iyah mau jama’ah mau hizbiyyah, tugas kita adalah mengajak orang untuk ‘ibadatillaahi wahdah. Sekarang sesudah jadi partai, berani gak mengajak orang ke tauhid? Berani gak mengajak orang supaya menyembah Allah? Tidak berani. Sesudah jadi partai akan berbicara dengan bahasa-bahasa politik.
Dipikir mereka, mereka akan bisa diberikan Allah kekuasaan. Oh tidak. Jadi selama kita tidak menempuh jalur, manhaj, cara, thariiqah yang dilakukan oleh para pendahulu kita dari ummat ini, maka Allah tidak akan kasih. Kalaupun dikasihNya nanti, ya kekuasaan yang akhirnya menghancurkan kita. Ada yang mau? Saya yakin semua kita tidak akan mau. Gara-gara kekuasaan iman kita tergadai. Gara-gara kekuasaan aqidah kita larut. Gara-gara kekuasaan yang haram menjadi halal. Tidak, lebih bagus kita tidak punya kekuasaan
Ikhwah fillah rahimakumullah, jadi pertemuan kita ini sebenarnya ingin menghidupkan kembali apa yang dulu, yang biasa kita pelajari. Syahadatain, memantapkan makna syahadatain itu kembali. Di mana lagi ada pengertian ilaah al marghuub fihi? Sudah ndak ada lagi itu materi-materi seperti itu. Pertemuan-pertemuan hanya dicekoki dengan pilkada di sini, pilkada di sana, menghadapi 2009, yang tidak ada hubungannya dengan keimanan.
Oleh karenanya banyak para ikhwah itu mengeluh, datang ikut liqo tetapi iman tidak terasa bertambah. Bahkan pulang liqo, pusing kepala. Kalau dulu datang liqo, pulang, semangat keimanan membara, kecintaan kepada Allah SWT -subhanahu wata’ala-. Sehingga habis malam itu dihabiskan untuk sujud kepada Allah dan berdiri di hadapan Allah. Sekarang, karena terlalu larut malam membicarakan masalah agenda-agenda, pulang tengah malam, tidur, subuhpun lewat. Apakah begitu kader da’wah?
Jadi oleh karenanya ikhwah fillah rahimakumullah, biarpun sebagian saudara kita menuduh ini sebuah upaya untuk menggembosi, kita katakan kepada mereka, tidak ada penggembosan. Yang ada adalah penyadaran. Ana, antum semua, mari kita sama-sama menyadarkan saudara-saudara kita yang sedang larut dengan dunia. Kembalilah wahai ikhwah ke jalan yang benar, dan kami semuanya saudaramu. Tidak ada keinginan diantara kami untuk memecah-belah dan untuk menimbulkan permusuhan. Apabila kembali jama’ah ini kepada khithah yang aslinya, insyaAllah, Allah akan memberikan kemenangan itu di luar yang kita perhitungkan.
Allaahu akbar!

Minggu, 24 April 2011

Hakikat Ibadah Oleh: Masyruddin Nusi



السلم عليكم ورحمة الله وبر كاته  
الحمد الله رب العلمين والصلاة والسلام على اشرف الانبياء والمرسلين وعلى اله واصحا به اجمعين اما بعد:
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah....
Dalam perjalanan hidup manusia dipermukaan bumi, bukanlah tanpa misi, bukan tanpa tujuan. Allah Swt, memerintahka kepada kita untuk beribadah kepada-Nya, dalam artian melakukan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dan jikalau kita melihat secara objektif dari kehidupan manusia, kenyataan dalam hidup sehari-hari bahwa kesadaran manusia untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt, itu berbeda-beda. Bila diprosentasekan  jumlah yang melaksanakan ibadah secara sungguh-sungguh jauh lebih sedikit bila dibandingkan yang tidak melaksanakan ibadah kepada Allah Swt, atau secara umum, diantara manusia  banyak yang belum sadar dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Mengapa?..
Mengapa masih banyak diantara kita yang belum melaksanakan shalat sebagai seorang muslim, membelanjakan harta, membaca alquran, berpuasa atau melakukan kebajikan-kebajikan lainnya.
Jawabnya, mungkin kita belum memiliki kadar keimanan yang tinggi, kadar keimanan yang baik. Sebab kesadaran melaksanakan perintah agama itu pada hakikatnya dimotivasi oleh kadar keimanan yang baik. Kalau seseorang sudah merasakan manisnya iman apa saja yang dilaksanakan akan terasa mudah dan ringan.
Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda dari Anas ra, menyatakan:
ثلاث من كن فيه وجد بهن حلاوة الايمان: ان يكون الله ورسوله احب اليه مما سواهما-وان يحب المرء لا يحبه الا الله-وان يكره ان يعود في الكفر بعد انقذ ه الله منه كما ايكره ان يقذف فى النار
“Ada tiga perkara yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman: Mencintai Allah Swt dan rasulnya melebihi dari pada segalanya, mencintai sesama manusia karena Allah Swt semata, enggan untuk kembali kepada kekafiran sesudah diselamatkan Allah Swt sebagaimana ia enggan untuk dilemparkan ke dalam api neraka. (Muttafaqun alaih).
Sehingga ibadah-ibadah yang kita lakukan bukan semata-mata dianggap sebagai kewajiban akan tetapi harus dijadikan sebagai kebutuhan dan dijadikan sebagai wadah untuk pembentukan kepribadian dan bukan hanya sebagai kewajiban ruyinita formal.
Demikan pula dengan sedekah dan ibadah-ibadah lainnya kita lakukan karena kita mengetahui melalui melalui petunjuk agama bahwa harta itu untuk membersihkan jiwa kita bahkan dalam sebuah keterangan yang lain bahwa “sedekah yang kita keluarkan itu lebih cepat sampai pahalanya kepada Allah Swt sebelum sampai ketangan orang yang menerimanya”.
Selanjutnya, mengapa banyak manusia yang tidak termotivasi untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt? Hal ini karena manusia ini tinggal dialam dunia (alam syahada) yang penuh dengan “materi” sehingga segala yang mendorong ia untuk melakukan sesuatu apabila ia mendapat imbalan materi dan alasan lain kaena manusia cenderung untuk memperturutkan hawa nafsunya. Sebagaimana hadis menyatakan:
“ketika Allah Swt menciptakan syurga lalu dipanggillah Jibril untuk menyaksikannya, lalu Jibril berkata: Ya...Allah, tidak ada seseorangpun yang mengetahui tentang syurga kecuali ia akan berupaya untuk memasuki syurga itu. Kemudian Allah memerintahkan lihatlah neraka yang Kuciptakan, maka datanglah Jibril melihat neraka, lalu Jibril berkata: Ya..Allah tidak seorangpun yang mengetahui tentang neraka kecuali ia akan berupaya untuk menghindarkan diri dari neraka. Kemudian Allah mengelilingi syurga dengan perkara-perkara, perbuatan-perbuatan, amalan-amalan yang tidak disenangi oleh syahwat amnusia seperti shalat,puasa dll. Kemudian dipanggil kembali Jibril untuk menyaksikan syurga, Jibril berkata:Ya..Allah saya khawatir jangan sampai orang-orang tidak mau memasuki syurga itu. Sebaliknya Allah mengelilingi neraka dengan hal-hal yang disenangi oleh syahwat manusia, lalu setelah dilihat Malaikat jibril berkata: Ya...Allah saya khawatir jangan sampai orang-orang berlomba-lomba menenggelamkan diri ke dalam neraka”.


والسلم عليكم ورحمة الله وبر كاته

Mensyukuri Nikmat Allah Swt.

MENSYUKURI NIKMAT ALLAH SWT.
Oleh: Masyruddin Nusi

السلم عليكم ورحمة الله وبر كاته
 الحَمْدُ اِللهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى اَشْرَفِ الْاَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَا بِهِ اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْدُ: 

Dalam Alqur’an Allah Swt, berfirman:
فَاذْكُرُنِيْ أ ذْكُرْكُمْ وَاثْكُرُوْلِىْ وَلَاتَكْفُرُوْنِ

" Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku". (Al-Baqarah:152).
Kata “Syukur” secara harfiah berarti “terimah kasih”. Secara umum berarti, mengelolah, memanfaatkan karunia Allah Swt kepada jalan yang dicintai Allah Swt. Bersyukur kepada Allah tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Al-Hamdulillah, tetapi syukur mengandung suatu makna yang sangat mendalam yang diakui dalam hati dan teraplikasi dalam amal perbuatan sehari-hari.
Perwujudan rasa syukur ini bisa bermacam-macam, ada yang bersyukur diwujudkan dalam bentuk menafkahkan, menginfaqkan sebagian hartanya untuk kepentingan umat. Ada yang bersyukur dengan melakukan sujud syukur, ada yang berpuasa dll.
Dalam konsep agama, dikatakan orang miskin yang ditimpah musibah lalu dia bersabar maka ia mendapat pahala, dan orang kaya yang mendapat nikmat lalu dia bersyukur maka iapun mendapat pahala. Dalam pendekatan sufistik “apapun yang menimpah kita musibah atau nikmat maka kita harus bersyukur”. Misal: saya memiliki sepeda motor, saya bersyukur. Karena kawan saya hanya memiliki sepeda, yang punya sepeda bersyukur karena kawannya yang lain hanya dapat berjalan kaki. Yang berjalan kaki bersyukur karena kawannya yang lain berjalan dengan menggunakan tongkat. Yang menggunakan tongkat bersyukur karena kawan yang lain tidak dapat berjalan....demikian seterusnya.
Untuk melatih diri agar selalu bersyukur kepada Allah Swt, Rasulullah Saw memperingatkan agar dalam urusan dunia kita selalu mengarahkan pandangan kepada yang lebih rendah atau miskin dari kita. Rasul bersabda:
اُ نْظُرُوْ ٳِ لَىْ مَنْ اَ سْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوْا ٳِ لَى مَنْ هُوَ فَوْ قَكُمْ فَهُوَ اَ جْدَرُ اَ نْ لَاتَذْ دَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
Lihatlah engkau kepada orang yang lebih rendah/miskin dari padamu dan jangan kamu melihat orang yang lebih tinggi/kaya dari padamu karena yang demikian akan lebih tepat bagimu agar engkau tidak meremehkan/ memandang enteng terhadap nikmat Allah Swt yang diberikan kepadamu  (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam Qs. An- Nahal 18:
وَ إِ نْ تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah Swt, niscaya kamu tidak dapat menghitung jumlahnya”. Dalam hadis yang lain dinyatakan:
ٳِ ذَانَظَرَ اَحَدُكُمْ ٳِ لَىْ مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِى الْمَالِ وَالْخَلْوَ فَلْيَنْظُرُ ٳِ لَى هُوَ اَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عِلَيْهِ
Apabila kamu dikaruniai kelebihan dengan harta dan kecantikan maka menengok pulalah kepada orang yang serba kekurangan (HR. Muslim).
Oleh karena itu, kita senantiasa berharaf melalui doa agar apa yang kita miliki dapat menghantarkan kita lebih dekat kepada Allah Swt. Karena Allah Swt mengingatkan dalam Qs. Al-Munafiqun;9:
ﻴﺄ يها الذين امنوا لاتلهكم امولكم ولااولدكم ان سكر الله
Dan janganlah karena harta bendamu dan anak-anakmu memalingkan kamu untuk ingat dan mengabdi kepada Allah Swt’
 Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang kita lakukan hakikatnya  kembali kepada diri kita sendiri:
ومن يثكر ﻓﺈنما يثكر لنفسه
“Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah Swt, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri” Qs. Lukman:12


والسلم عليكم ورحمة الله وبر كاته